Jumat, 23 April 2010

Kiran

Kiran termangu-mangu di bis kota yang ditumpanginya. Jalanan yang berlubang dalam membuat tubuh kiran terguncang hebat, namun guncangan itu tidak mengusik lamunan Kiran. Jilbab putihnya dan rok biru panjangnya melambai ditiup angin sawah yang kencang. Kiran masih termangu. Riuh penumpang angkot tidak terlalu di dipedulikannya. Suara dua ibu-ibu cempreng di sebelahnya diacuhkannya begitu saja, walaupun obrolan keduanya tertangkap jelas oleh telinganya. Harga kebutuhan pokok yang semakin melambung dan kesulitan mereka membayar uang sekolah anak-anak mereka. Keluhan serupa yang sering dibicarakan Ibu di rumah.
Ayah Kiran seorang supir angkot dan Ibunya berjualan di pasar. Orang tua Kiran tidak mendapatkan gaji tetap layaknya seorang karyawan. Kalau nasib sedang mujur, orang tua Kiran bisa menabungkan sebagian kecil penghasilannya, kalau tidak, mereka terpaksa ngutang sana-sini untuk memenuhi kebutuhan hidup. Walaupun begitu, Kiran bersyukur kedua orang tuanya tidak sama dengan keluarga-keluarga supir angkot lainnya. Ayah Kiran tidak merokok dan ayah mempunyai rasa tanggung jawab yang besar pada masa depan Kiran. Ibu pun tidak kalah tangkasnya dalam bekerja, ia juga mempunyai cita-cita yang tinggi dan sangat menyayangi Kiran.
Berbagai macam perasaan mengaduk perasaan Kiran. Ada rasa cemas dan gelisah akan masa depannya. Ayah dan ibu sudah berjanji untuk terus menyekolahkannya dengan sekuat tenaga, namun Kiran merasa gamang dengan tekad itu. Akhir-akhir ini, mereka begitu sering kesulitan uang. Jika ini terus berlangsung, masihkah mereka sanggup menyekolahkannya ? Padahal tekad Kiran untuk bersekolah begitu kuat. Ia ingin lulus S1 dan memiliki karier yang cemerlang. Akankah semua itu kandas ? Terngiang-ngiang kata-kata Ibu Sinta tadi pagi.
“Kamu pintar, Ran. Ibu yakin kamu akan jadi orang yang berhasil kalau kamu terus rajin belajar.”
Kiran hanya tertunduk mendengar pujian Bu Sinta. Bukan saja karena malu, namun Kiran ragu apakah ia bisa meneruskan sekolahnya.
Ingatan Kiran melayang ke masa kecilnya, saat ayahnya masih narik angkot di sekitar kampung mereka. Kiran sering ikut ketika Ayahnya narik angkot. Kalau penumpang penuh Kiran dan abangnya akan duduk di depan, sedangkan kalau angkot kosong, ia akan segera pindah ke belakang, tidur-tiduran di jok angkot sambil makan es campur. Kiran ingat suatu saat ada seorang wanita muda yang duduk di sebelahnya. Mbak itu menggunakan baju rapi dan berbadan cantik, pastilah ia seorang karyawan yang berpendidikan tinggi. Pada saat itu muncullah niatnya untuk menjadi perempuan seperti itu kelak.
Sebuah tepukan lembut di pundaknya menyadarkan Kiran dari lamunan.
“Ran, kok bengong aja sih? Gimana rencana kamu setelah tamat SMA?”
“Belum tau, Ra. Inginnya sih melanjutkan kuliah di Jakarta. Tapi mahal kali, Ra. Aku sih mending kuliah di sini. Agak nyantai. Lagi pula setelah lulus aku cuma mau nerusin usaha bapak dan ibu. Aku denger ada yang gratis, tapi masuknya mungkin susah sekali. Aku pengin sih bantu ortu karena kelihatannya akhir-akhir ini mereka makin susah. Kamu sih enak, Ra . orang tuamu berkecukupan.”
“Ah biasa aja Ran. Aku orangnya nggak hobi belajar. Kamu usaha aja yang keras, siapa tahu cita-citamu bisa tercapai.”
“Ya kali Ra. Mudah-mudahan,ya.”
Kata-kata Rara sedikit melecut semangatnya untuk tidak menyerah. Ketika kedua orang tuanya sedikit sulit diharapkan, Kiran memang harus berjuang untuk kuliah dan mendapat beasiswa. Akan tetapi sanggupkah ia? Kiran menelan ludah. Ia sadar perjuangannya memang tidak mudah. Mungkin hanya mukjizat sajalah yang dapat menolongnya. Kiran menghela napas dalam-dalam.
Setiba di rumah, Kiran melihat ibu sedang memasak di dapur. Kiran segera menghampiri Ibu, karena ia sendiri sudah sangat kelaparan.
“Sedang apa, Bu?”saat dilihatnya Ibu menyiapkan kertas pembungkus makanan.
“Menyiapkan bekal untuk Bapak, sekalian buat Ibu juga di pasar. Kiran, nggak ganti baju dulu?”saat Ibu melihat Kiran, ia sudah duduk anteng sambil menyantap makanannya tanpa mengganti seragam sekolahnya.
“Laper banget, Bu, di sekolah Kiran nggak jajan.”jawab Kiran dengan mulut penuh.
“Jajan aja, Nak, kalau Ibu masih mampu ngasih kamu uang jajan.”
“Mahal,Bu, juga nggak sehat. Udah lah Bu, nggak usah dibahas. Lagi pula akhir-akhir ini lagi sepi kan?”
“Semua harga barang naik, orang-orang pada berhemat. Kenapa sih, Ran kamu jadi ikut mikirin usaha Ibu?”
“Nggak pa-pa sih Bu, Kiran cuma takut ekonomi kita makin berat. Kiran pengin kerja juga, kan Kiran udah besar.”
“Sudahlah, Ki, belajar aja yang rajin. Mudah-mudahan kita selalu mendapat rezeki agar kita bisa hidup cukup dan kamu bisa melanjutkan kuliah, juga abangmu. Berdoa aja, Ki.”
Kiran terdiam mendengar kata-kata Ibu. Ia terpekur sambil menyantap sisa makanannya. Ada tekad yang meluap di hati Kiran untuk memperjuangkan cita-citanya. Ada tekad yang meluap pula untuk tidak menggantungkan cita-cita itu hanya ke pundak kedua orang tuanya. Kiran sudah cukup besar untuk bekerja. Walaupun pada saat ini, belum satupun ide melintas mengenai pekerjaan apa yang bisa dikerjakannya. Hhh... Kiran menghembuskan napas kuat-kuat. Memang sangat tidak enak memilki ekonomi yang serba kekurangan. Alangkah beruntungnya teman-temannya yang hidup berkecukupan dan tidak perlu berpikir keras seperti dirinya hanya untuk sekedar melanjutkan kuliah.
Hari-hari mendekati waktu akhir sekolah Kiran semakin dekat. Sebulan lagi Kiran akan mengikuti ujian akhir sekolah, jika lulus, Kiran akan meninggalkan bangku SMA untuk meneruskan bangku kuliah. Akhir-akhir ini Kiran semakin tekun belajar untuk mempersiapkan diri manghadapi ujian.
Namun, hari ini Kiran berniat libur sehari dari jadwal belajarnya, ia berencana mengerjakan sesuatu yang lain. Sepekan yang lalu Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) anak-anak Internasional mendatangi sekolah Kiran. Mereka mengatakan membutuhkan beberapa anak SMA untuk membantu kegiatan mereka membuat alat peraga. Kiran sudah bertemu dengan Kak Rama dari LSM anak. Kalu buatan Kiran bagus, ia bisa diangkat menjadi pembantu tetap di LSM anak itu dan mendapat honorarium. Kiran sangat bersemangat. Ia sendiri memang suka membuat prakarya dan selalu mendapat nilai bagus di mata pelajaran ini, selain itu Kiran juga menyukai dunia anak-anak.
Kiran berhenti di depan toko peralatan tulis, membeli peralatan yang dibutuhkan, kemudian berlari-lari kecil menuju rumahnya. Ia berniat membuat alat peraga sebagus mungkin. Seharian penuh Kiran berkeringat untuk mengerjakan alat peraga itu. Kiran memandang puas pada hasil karyanya dengan badan yang gerah oleh keringat. Ketika Kiran baru saja merebahkan tubuhnya untuk beristirahat sejenak, telepon rumahnya berdering.
“Halo…”
“Kiran, ya? Ini Kak Rama… Sudah selesai alat peraganya ?”
“Udah, Kak…, kapan Kiran bawa ke tempat Kak Rama?”
“Bagus, Kiran. Jam 6 pagi. Soalnya, mau langsung dipakai.”
“Oke deh Kak Rama. Besok jam 6 pagi saya antar ke tempat Kak Rama.”
“O ya, Kiran. Ada sedikit informasi mengenai beasiswa untuk anak-anak yang berbakat. Kali aja kamu punya peluang untuk mendapatkannya.”
“Wah, Kiran senang sekali mendengarnya. Kiran mau banget Kak… Terima kasih udah kasih Kiran kesempatan.”
“Sama-sama Ran, kakak senang kok bisa bantu dan dibantu sama kamu. Sampai ketemu besok ya… Bye!”
“Bye juga Kak. Sekali lagi terima kasih banyak.”
Hati Kiran membuncah oleh rasa bahagia. Lebih-lebih lagi mengenai peluang beasiswa yang ditawarkan. Sekalipun belum pasti meraihnya, entah mengapa Kiran merasa sebuah cahaya telah terbentang di depannya. Benaknya tidak lagi dipenuhi rasa pesimis dan putus asa, sebaliknya harapan dan semangat. Kiran tahu hanya harapan dan semangatlah yang dapat menolongnya neraih cita-cita. Kiran tersenyum dengan mata berbinar.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar