Minggu, 25 April 2010

Luka Hariku

Brrakkkk..... suara dentuman sepatuku menghantam dinding kamar, tanpa berganti baju terlebih dahulu, langsung ku gelimpangkan tubuhku di hamparan kapuk yang lembut. Tanpa memperdulikan ibuku yang berceramah di depan pintu kamarku, kucoba tuk menutup mataku yang tanpa kusadari telah tergenangi oleh air mata. Meskipun ibuku sudah tak tampak di dekatku, namun sayup-sayup omelannya masih menghiasi telingaku.
Kejadian yang akhir-akhir ini mengiringi hidupku, benar-benar telah menyita separuh otakku. Betapa tidak, tugas-tugas sekolah akhir-akhir ini serasa misil yang menghujani tubuhku. Ditambah aku masih harus les, masuk ekskul, hufhh.. rasanya badanku ini akan copot sendiri-sendiri. Mana gurunya gak pengertian lagi.
Namun bukan itu yang sebenarnya membebani otakku, tapi ada hal lain yang membuat nadiku berkerut. Seseorang yang selama ini aku anggap sebagai pelipur jiwaku, kemarin tega mengkhianati perasaanku. Di depan mataku dia menebar kasih kepada orang lain, dimana orang itu adalah sahabatku sendiri. Satu-satunya sahabat dekatku dari semenjak aku duduk di bangku TK. Yang paling menyakiti hatiku,dia juga memperlihatkan rasa sukanya pada cewek yang aku suka itu.
Dari semenjak aku mengenalnya, entah mengapa ada perasaan yang sulit kulukiskan padanya, aku lebih tenang & damai saat dekat dengan dia. Semenjak itulah aku dekat dengan dia, diapun terbuka padaku, kalo lagi ada masalah dia juga sering curhat padaku, begitupun sebaliknya. Namun aku telah salah mengartikan sikapnya padaku,, pa aku yang terlalu kePDan mungkin. Tidak, dia yang salah mengapa dia seakan memberiku celah untuk memasuki hatinya. Tapi saat aku mencoba masuk, seakan celah itu ia tutup perlahan. Seperti kejadian kemarin, saat aku mencoba mengutarakan perasaanku, dia selalu berusaha mengalihkan topik pembicaraan kami.
Dari sekian kejadian yang indah bagiku bersamanya, ternyata tidak ada satupun yang dapat menggugah pintu hatinya untuk terbuka buatku. Dia hanya menawarkan persahabatan padaku, tapi sulit bibirku tuk mengatakan YA, tapi daripada aku kehilangan dia, lebih baik aku menjadi sahabat baginya. Meskipun rasanya sangat menyakitkan saat melihatnya bersama sahabat karibku.
Rasanya otak ini melayang-layang kesana kemari tanpa tujuan yang pasti, sampai suara halus lembut membuyarkan lamunanku, “ Makan dulu nak, nanti kamu sakit, dari tadi pulang sekolah sampai petang begini belum makan, ganti baju, cepet sana keburu habis waktu sholat”. Hanya anggukan kepala yang menjawab ibuku. Ibu hanya mengeleng-gelengkan kepala melihat tingkahku. Rasanya sekujur tubuhku seperti habis di keroyok, mau melangkahkan kaki aja susah banget,tapi kupaksakan pergi ke kamar mandi, mengambil air wudhlu dan sholat. Dalam sholatku aku berdoa semoga aku dapat menjalani ini semua, setelah selesai aku merasakan ketenangan dalam diriku, semoga aku besok kuat melihat dia bersamanya.

Jumat, 23 April 2010

Ibrah Yang Berharga

Hari-hariku berjalan seperti biasa, aku pergi ke kampus di pagi hari sampai sore hari setelah itu aku bergabung dengan teman-teman se-aktifis dakwahku. Tapi hari ini agaknya berbeda, di kelasku ada anak baru namanya Lita, orangnya tomboy setip hari ia hanya memakai celana jeans belel, topi berwana biru jeans, serta kacamata yang nagkring di atas hidungnya.
“Hai…Gue Lita Kurniasari.” begitulah katanya saat perkenalan lengkap dengan suaranya yang macho.
Lita cantik sekali, sering aku membayangkan seandainya ia memakai jilbab seperti kami, pasti Ia kelihatan lebih anggun dan gelar tomboy pun melekat di harinya-harinya.
“Farah..!” panggil Lita
Aku menyambutnya dengan senyum. Dengan gayanya yang super cuek ia langsung duduk di meja dengan satu kaki menjulur ke bawah dan kaki satunya di meja.
“Permen karet nih, mau nggak?” ia menyodorkan permen karet itu padaku.
“Insya allah aku shaum.” tolakku halus.
Aku tidak mengerti kenapa Ia bisa dekat denganku padahal aku termasuk anak rohis. Tapi itu keberuntungan buatku, karena aku bertekat untuk merubah semua perilakunya menjadi muslimah sejati.
***
Hari ini adalah hari Minggu, jadi aku libur, aku bangun pagi sekali setelah itu aku melaksanakan shalat subuh. Aku membuka jendelaku dan menghirup udara pagi dalam-dalam, energi positf pun masuk melalui pori-poriku. Hari ini aku berencana untuk merapikan kamarku karena keaadaan kamrku terasa memprihatinkan alias seperti kapal pecah.
“Assalamu ‘alaikum..!”
“Wa’alaikum salam.” sapaku dari jauh, aku bisa mendengarnya karena tidak ada cewek lain yang suaraya seperti Lita.
Saat Lita membuka pintu kamarku dia menatapku dengan tatapan aneh, Ia memandangku tidak berkedip.
“Far.. kamu cantik ga pake’ jilbab, maukah kau menjadi kekasihku..?” dengan pelan membelai rambutku.
“Lita.. Apa-apaan ini!” Aku langsung lari sambil menagis sejadi-jadinya. Aku menuju ke kamar teman rohisku dan menceritakan semuanya pada temanku.
“Astagfirullah..jadi Lita lesbian, sabar ya Far, Allah bersama kita. Kita harus berusaha sekuatnya. kita harus bisa menyadarkan Lita.
***
“Ta maafin Farah ya..?” dengan hati-hati aku bicara pada Lita
“Emang lo salah apa, bukanya gue yang salh besar, gue manusia hina, gue manusia nggak berbudi, gue manusi kufur…ya kan Far…!!!” Sorot matanya tajam menusukku.
“Ya Allah…Lindungilah aku.” Doaku dalam hati
“ Kamu nggak ngrti aku far.., seandainya kamu tahu kamu pasti nggak bakalan marah, aku hanyalah korban dari kekufuran manusia yang ga’ mensukuri nikamat-Nya. Yakinlah Far aku laki-laki sejati, aku bukan lesbian..!” kata-katanya berhenti
Aku tak tega berbicara, lidah ku kelu dan bibirku seakan terkunci. Aku nggak nyangka selama ini Lita laki-laki.
“Ayahku mengiginkan anak perempuan tapi kenyataanya aku laki-laki tapi wajahku cantik mirip permpuan, dengan kegilaaanya semua data-dataku dipalsukan dan aku dipaksa bergaul dengan anak perempuan hingga seperti ini. Tapi aku tidak bisa menolak takdirku, sejak aku melihatmu aku jatuh cinta padamu Far...!, Far
tolong aku, aku muak dengan semua kebohongan ini..!!!” Lita mengacak-acak rambutnya menggambarkan hatinay yang tertekan.
Aku bingung dengan semua yang di ucapakan Lita, air mataku mengalir deras saat mendengar kisahnya. Ya Rabbi…kasihanilah Lita.
***
Beberapa tahun kemudian…
Hari ini adalah hari yang paling bahagia bagiku dan tentu saja bagi Lita, kerena Kami diwisuda, saat ku mendengar namnya akupun tersenyum.
“Ibnu Hasyim Ash Shahri.” Panggil dosen.
Saat Ia maju ke depan, aku melihat ketegaran seorang ikhwan dan bukan Lita yang tomboy lagi.

Dewi Malam, Terima Kasih

Dimalam yang mendung itu Ranya Kane duduk termenung di jendela tanpa trail besi. Ia menikmati setiap kedipan bintang-bintang yang samar dan dapat dihitung dengan jari. Malam itu, dia menunggu janji sang dewi malam, untuk mengajaknya mengunjungi sang bulan yang sedang sakit parah. Dikenakannya baju putih bersuh, dan liontin bertahtakan cahaya yang selalu kemilau berbentuk bulan.
Wuuush..
Angin berhembus dengan kencangnya. Malam semakin larut dan rintik-rintik hujan mulai berjatuhan membasahi wajah bumi ini. Kegelisahan menghampiri pikiran Ranya.
“Ada apa dengan Dewi Malam? Mengapa kau tak kunjung datang?” Bisiknya dalam hati.
Wajah mungilnya yang tadinya pitih merona, tamapak merak kau kedinginan. Dia sesekali bersin, dan menguap karena mengantuk. Tanpa disadari Ranya tertidur di ambang jendela kamarnya.
Papa Ranya yang melihat kamar anaknya masih terang dengan lampu, mendatangi kamar Ranya. Dia kaget, anaknya tertidur di ambang jendela. Dia sendiri berpikir, pasti Ranya merindukan Mamanya yang sebulan yang lalu meninggalkan Ranya dan Dia selamanya. Dibopongnya Ranya menuju kasurnya, dan menutup jendela kamar Ranya.
Malam berikutnya, ia tetap masih menunggu hingga larut malam. Namun, malam ini Ranya begitu sedih. Dia marah dengan Dewi Malam karena tidak menepati janjinya. Ranya menangis diambang jendela. Sekelebat dalam pikirannya, dia teringat dulu saat mamanya masih hidup dia sering bernyanyi didekat jendela bersama mamanya. Hatinya semakin sedih. Hancur dirasa dalam penaknya. Hingga akhirnya, ia putuskan untuk menulis sebuah cerita, di buku harian yang pernah dihadiahkan oleh mamanya saat ia ulang tahun yang ke -7. Disitu ia luapkan perasaannya malam itu, dengan menitikkan air mata. Sesekali dia ingin menghentikan tulisannya dan berteriak sekuat tenaga, untuk melegakan pikirannya.

Ranya menangis dengan begitu pilu. Lemas rasanya seluruh badan Ranya. Hingga akhirnya ia terbenam dalam tidurnya.
Didalam tidurnya yang lelap, Ranya bermimpi bertemu mamanya memakai gaun putih yang indah sedang duduk ditaman penuh dengan kupu-kupu indah berterbangan. Ranya mendekati mamanya, dan memeluk erat sambil menangis dipelukan mamanya. Ranya menyatakan begitu rindunya pada mamanya itu.
Ranya bercerita bahwa Dewi Malam telah membohongi dirinya. Dewi Malam Akan mengajaknya untuk menjenguk Sang Bulan yang sedang sakit parah. Mamanya dengan lembut dan begitu menyentuh menyampaikan permintaan maaf Dewi Malam yang tak jadi menemui Ranya. Mamanya berkata bahwa Dewi Malam sedang membantu Sang Bulan untuk kembali bersinar menerangi malam-malam Ranya. Kemudian Mama Ranya mengajak Ranya kesuatu tempat. Disitu Ranya bisa melihat wajah bumi. Ranya melihat begitu banyak sekali bintang ditempat itu. Ia bertanya pada mamanya,
“Mama, tempat apa ini? Mengapa Bintangnya begitu banyak sekali?”
Mamanya menjawab, bahwa Ranya sekarang masih berada di nirwana bersama mamanya, namun bisa melihat bumi dengan jelas.
Ranya diam tertegun menikmati suasan malam itu. Tiba-tiba Ranya melihat cahaya kuning yang indah dan besar. Liontin yang dikenakannya bersinar memantulkan cahaya dari benda itu. Dan ternyata, itu adalah Sang Bulan. Sang bulan telah sembuh kembali. Betapa senangnya hati Ranya pada malam itu.
Dewi Malam datang menemui Ranya saat itu juga. Ranya menyampaikan terima kasih pada Dewi Malam yang telah membantu menyembuhkan sang Bulan. Ranya juga meminta maaf kepada Dewi Malam karena Ranya sempat marah kepadanya.
Ranya bangun seketika itu juga dari tidurnya. Ia menuju jendela kamanya. Betapa banyak sekali bintang-bintang pada malam itu. Ia melihat Sang Bulan tersenyum padanya.
“Dewi Malam, terima kasih.”

Kiran

Kiran termangu-mangu di bis kota yang ditumpanginya. Jalanan yang berlubang dalam membuat tubuh kiran terguncang hebat, namun guncangan itu tidak mengusik lamunan Kiran. Jilbab putihnya dan rok biru panjangnya melambai ditiup angin sawah yang kencang. Kiran masih termangu. Riuh penumpang angkot tidak terlalu di dipedulikannya. Suara dua ibu-ibu cempreng di sebelahnya diacuhkannya begitu saja, walaupun obrolan keduanya tertangkap jelas oleh telinganya. Harga kebutuhan pokok yang semakin melambung dan kesulitan mereka membayar uang sekolah anak-anak mereka. Keluhan serupa yang sering dibicarakan Ibu di rumah.
Ayah Kiran seorang supir angkot dan Ibunya berjualan di pasar. Orang tua Kiran tidak mendapatkan gaji tetap layaknya seorang karyawan. Kalau nasib sedang mujur, orang tua Kiran bisa menabungkan sebagian kecil penghasilannya, kalau tidak, mereka terpaksa ngutang sana-sini untuk memenuhi kebutuhan hidup. Walaupun begitu, Kiran bersyukur kedua orang tuanya tidak sama dengan keluarga-keluarga supir angkot lainnya. Ayah Kiran tidak merokok dan ayah mempunyai rasa tanggung jawab yang besar pada masa depan Kiran. Ibu pun tidak kalah tangkasnya dalam bekerja, ia juga mempunyai cita-cita yang tinggi dan sangat menyayangi Kiran.
Berbagai macam perasaan mengaduk perasaan Kiran. Ada rasa cemas dan gelisah akan masa depannya. Ayah dan ibu sudah berjanji untuk terus menyekolahkannya dengan sekuat tenaga, namun Kiran merasa gamang dengan tekad itu. Akhir-akhir ini, mereka begitu sering kesulitan uang. Jika ini terus berlangsung, masihkah mereka sanggup menyekolahkannya ? Padahal tekad Kiran untuk bersekolah begitu kuat. Ia ingin lulus S1 dan memiliki karier yang cemerlang. Akankah semua itu kandas ? Terngiang-ngiang kata-kata Ibu Sinta tadi pagi.
“Kamu pintar, Ran. Ibu yakin kamu akan jadi orang yang berhasil kalau kamu terus rajin belajar.”
Kiran hanya tertunduk mendengar pujian Bu Sinta. Bukan saja karena malu, namun Kiran ragu apakah ia bisa meneruskan sekolahnya.
Ingatan Kiran melayang ke masa kecilnya, saat ayahnya masih narik angkot di sekitar kampung mereka. Kiran sering ikut ketika Ayahnya narik angkot. Kalau penumpang penuh Kiran dan abangnya akan duduk di depan, sedangkan kalau angkot kosong, ia akan segera pindah ke belakang, tidur-tiduran di jok angkot sambil makan es campur. Kiran ingat suatu saat ada seorang wanita muda yang duduk di sebelahnya. Mbak itu menggunakan baju rapi dan berbadan cantik, pastilah ia seorang karyawan yang berpendidikan tinggi. Pada saat itu muncullah niatnya untuk menjadi perempuan seperti itu kelak.
Sebuah tepukan lembut di pundaknya menyadarkan Kiran dari lamunan.
“Ran, kok bengong aja sih? Gimana rencana kamu setelah tamat SMA?”
“Belum tau, Ra. Inginnya sih melanjutkan kuliah di Jakarta. Tapi mahal kali, Ra. Aku sih mending kuliah di sini. Agak nyantai. Lagi pula setelah lulus aku cuma mau nerusin usaha bapak dan ibu. Aku denger ada yang gratis, tapi masuknya mungkin susah sekali. Aku pengin sih bantu ortu karena kelihatannya akhir-akhir ini mereka makin susah. Kamu sih enak, Ra . orang tuamu berkecukupan.”
“Ah biasa aja Ran. Aku orangnya nggak hobi belajar. Kamu usaha aja yang keras, siapa tahu cita-citamu bisa tercapai.”
“Ya kali Ra. Mudah-mudahan,ya.”
Kata-kata Rara sedikit melecut semangatnya untuk tidak menyerah. Ketika kedua orang tuanya sedikit sulit diharapkan, Kiran memang harus berjuang untuk kuliah dan mendapat beasiswa. Akan tetapi sanggupkah ia? Kiran menelan ludah. Ia sadar perjuangannya memang tidak mudah. Mungkin hanya mukjizat sajalah yang dapat menolongnya. Kiran menghela napas dalam-dalam.
Setiba di rumah, Kiran melihat ibu sedang memasak di dapur. Kiran segera menghampiri Ibu, karena ia sendiri sudah sangat kelaparan.
“Sedang apa, Bu?”saat dilihatnya Ibu menyiapkan kertas pembungkus makanan.
“Menyiapkan bekal untuk Bapak, sekalian buat Ibu juga di pasar. Kiran, nggak ganti baju dulu?”saat Ibu melihat Kiran, ia sudah duduk anteng sambil menyantap makanannya tanpa mengganti seragam sekolahnya.
“Laper banget, Bu, di sekolah Kiran nggak jajan.”jawab Kiran dengan mulut penuh.
“Jajan aja, Nak, kalau Ibu masih mampu ngasih kamu uang jajan.”
“Mahal,Bu, juga nggak sehat. Udah lah Bu, nggak usah dibahas. Lagi pula akhir-akhir ini lagi sepi kan?”
“Semua harga barang naik, orang-orang pada berhemat. Kenapa sih, Ran kamu jadi ikut mikirin usaha Ibu?”
“Nggak pa-pa sih Bu, Kiran cuma takut ekonomi kita makin berat. Kiran pengin kerja juga, kan Kiran udah besar.”
“Sudahlah, Ki, belajar aja yang rajin. Mudah-mudahan kita selalu mendapat rezeki agar kita bisa hidup cukup dan kamu bisa melanjutkan kuliah, juga abangmu. Berdoa aja, Ki.”
Kiran terdiam mendengar kata-kata Ibu. Ia terpekur sambil menyantap sisa makanannya. Ada tekad yang meluap di hati Kiran untuk memperjuangkan cita-citanya. Ada tekad yang meluap pula untuk tidak menggantungkan cita-cita itu hanya ke pundak kedua orang tuanya. Kiran sudah cukup besar untuk bekerja. Walaupun pada saat ini, belum satupun ide melintas mengenai pekerjaan apa yang bisa dikerjakannya. Hhh... Kiran menghembuskan napas kuat-kuat. Memang sangat tidak enak memilki ekonomi yang serba kekurangan. Alangkah beruntungnya teman-temannya yang hidup berkecukupan dan tidak perlu berpikir keras seperti dirinya hanya untuk sekedar melanjutkan kuliah.
Hari-hari mendekati waktu akhir sekolah Kiran semakin dekat. Sebulan lagi Kiran akan mengikuti ujian akhir sekolah, jika lulus, Kiran akan meninggalkan bangku SMA untuk meneruskan bangku kuliah. Akhir-akhir ini Kiran semakin tekun belajar untuk mempersiapkan diri manghadapi ujian.
Namun, hari ini Kiran berniat libur sehari dari jadwal belajarnya, ia berencana mengerjakan sesuatu yang lain. Sepekan yang lalu Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) anak-anak Internasional mendatangi sekolah Kiran. Mereka mengatakan membutuhkan beberapa anak SMA untuk membantu kegiatan mereka membuat alat peraga. Kiran sudah bertemu dengan Kak Rama dari LSM anak. Kalu buatan Kiran bagus, ia bisa diangkat menjadi pembantu tetap di LSM anak itu dan mendapat honorarium. Kiran sangat bersemangat. Ia sendiri memang suka membuat prakarya dan selalu mendapat nilai bagus di mata pelajaran ini, selain itu Kiran juga menyukai dunia anak-anak.
Kiran berhenti di depan toko peralatan tulis, membeli peralatan yang dibutuhkan, kemudian berlari-lari kecil menuju rumahnya. Ia berniat membuat alat peraga sebagus mungkin. Seharian penuh Kiran berkeringat untuk mengerjakan alat peraga itu. Kiran memandang puas pada hasil karyanya dengan badan yang gerah oleh keringat. Ketika Kiran baru saja merebahkan tubuhnya untuk beristirahat sejenak, telepon rumahnya berdering.
“Halo…”
“Kiran, ya? Ini Kak Rama… Sudah selesai alat peraganya ?”
“Udah, Kak…, kapan Kiran bawa ke tempat Kak Rama?”
“Bagus, Kiran. Jam 6 pagi. Soalnya, mau langsung dipakai.”
“Oke deh Kak Rama. Besok jam 6 pagi saya antar ke tempat Kak Rama.”
“O ya, Kiran. Ada sedikit informasi mengenai beasiswa untuk anak-anak yang berbakat. Kali aja kamu punya peluang untuk mendapatkannya.”
“Wah, Kiran senang sekali mendengarnya. Kiran mau banget Kak… Terima kasih udah kasih Kiran kesempatan.”
“Sama-sama Ran, kakak senang kok bisa bantu dan dibantu sama kamu. Sampai ketemu besok ya… Bye!”
“Bye juga Kak. Sekali lagi terima kasih banyak.”
Hati Kiran membuncah oleh rasa bahagia. Lebih-lebih lagi mengenai peluang beasiswa yang ditawarkan. Sekalipun belum pasti meraihnya, entah mengapa Kiran merasa sebuah cahaya telah terbentang di depannya. Benaknya tidak lagi dipenuhi rasa pesimis dan putus asa, sebaliknya harapan dan semangat. Kiran tahu hanya harapan dan semangatlah yang dapat menolongnya neraih cita-cita. Kiran tersenyum dengan mata berbinar.

Kehilangan

Indahnya mentari senja di sore itu menemani langkahku yang lelah dari sekolah. Di hari yang cerah itu aku baru saja mengikuti kegiatan ekstrakurikuler di sekolah tercinta. Berjalan melewati tengah sawah yang begitu indah, membuat segala rasa penat di hati hilang tercurah. Hanya ada perasaan damai dan tenteram di raga ini.
Tiba-tiba saja hp di saku celanaku bergetar. Kurogohkan tangan kananku ke dalam saku, bermaksud melihatnya. Perlahan-lahan sambil berjalan santai, kubaca sms yang baru saja kuterima tersebut. Tak diduga, ternyata itu adalah sms dari ketua kelasku, dan ternyata isinya adalah pemberitahuan bahwa tugas cerpen bahasa Indonesia harus dikumpulkan keesokan harinya. Hatiku langsung berdebar tak karuan. Bagaimana tidak. Rancangannya saja belumlah selesai kubuat. Apalagi tugas tersebut harus dikumpulkan dalam keadaan sudah tercetak rapi di kertas HVS A4. Langkah santaiku berubah dalam sekejap. Dengan segera kupercepat langkahku tuk segera menuju ke rumahku.
Pikiran semkin jadi tak tenang, karena tugas itu bukanlah merupakan tugas yang tak penting. Melainkan tugas yang menyangkut nasibku dan teman teman seperguruanku
Sesampainya di rumah, ku langsung menuju kamarku, bermaksud mencari rancangan cerpen yang tlah kubuat setengahnya. Rak buku adalah sasaran utamaku. Dengan segera kuletakkan tas dan semua barang bawaanku. Mulailah kuacak-acak rak bukuku yang tlah tertata rapi. Kucari dan kucari, tapi ku tak kunjung kutemui. Di manakah engkau, cerpenku yang tersayang? Rasa tenang di pikiran seakan menghilang. Hampir semua buku kubuka untuk mencarinya. Tapi semua itu terasa tak ada hasilnya. Ku masih belum menemukannya. Dengan perasaan sedikit kesal dan tergesa-gesa, kubuka resleting tasku. Kukeluarkan semua isi di dalamnya. Tapi malangnya, ku masih belum menemukannya. Kepalaku serasa mau meledak layaknya bom nuklir yang mengguncang Hiroshima dan Nagaski. Betapa khawatirnya diriku. Tugas yang harus kuselesaikan hari itu, malah hilang entah ke mana.
Di saatku hampir putus asa, kubuka tempat pensilku. Dan alangkah gembiranya diriku karena ternyata tugas yang selama ini kucari cari, terlipat rapi di dalamnya. Perasaan tak tenang berangsur-angsur hilang. Dalam sekejap hatiku berubah begitu tenteram. Sedih susah, sirna sudah. Dan akhirnya, ku berhasil menemukan isi yang tepat untuk tugas yang belum selesai tersebut. Yaitu, hilangnya cerpen bahasa Indonesia.